Photobucket
Friday, February 09, 2007
LINH
Linh,

Pagi, ketika matahari terbit seperti sekarang ini, aku justru sedang terbenam, terlipat di balik selimut. Kau tentu sudah mandi, bukan? Sarapan ceplok telur setengah matang kesukaanmu dan meminum susu instan. Ya, waktu itu kaubilang – entah sekedar berdalih – tak ada lagi penjual susu keliling seperti di kampungku sewaktu aku masih kecil dulu. Kota telah tumbuh sebagai dirinya. Bahkan terkadang di luar yang kita duga. Apa yang tidak diinstankan oleh kota? Bahkan air ludah kita pun sudah beku sebelum sempat keluar. Kau tertawa waktu itu, dan aku sungguh menyukainya.



Hhmm..aku jadi teringat waktu kita berdua jalan kaki setelah menikmati pertunjukan teater malam itu. Kamu tertawa terus sepanjang jalan mendengarku bercerita tentang hal hal konyol. Dan di sela selanya, aku sering berusaha mencuri matamu. Aku suka sekali melakukan itu sementara kau tak menyadarinya dan terus saja tertawa dan bicara. Sedang di sana, di sebuah sudut yang jauh. hatiku terpekur dalam jenak jenak rahasia yang dahsyat dan dipenuhi gairah. Dan ketika tiba tiba terdengar jerit klakson angkot menyilahkan kita untuk naik, dengan setengah terkejut kita lantas menoleh hampir berbarengan. Aku cerna sudut matamu selepas entah begitu cepatnya aku menyuhut ‘tidak’ pada sopir angkot itu sembari melambaikan tangan tanda penolakan. Kau menatapku dengan dalam, seperti menyelidik sesuatu. Hal yang kemudian membuatku tersadar, apakah mungkin aku bertindak dangkal? Tapi kau tahu, betapa cepat pula aku berreaksi. Tempat tinggal kita masing masing masihlah jauh, dan aku tak hendak mengatakan sengaja melakukan itu karena aku senang berjalan demikian bersamamu di malam selarut itu. Aku tak punya alasan yang sungguh sungguh tepat dalam kejaran matamu. Dan begitulah, aku melirik, meledekmu dengan senyum tertahan yang sengaja kusembunyikan, tapi sebenarnya demi agar kau melihatnya.

Aku akan tahu jawabanmu sebelum akhirnya kau mencubitku lama sekali sembari memelototkan mata berlagak menakuti. Tapi tentu saja aku tak takut dan itulah yang kauharapkan. Kita berhenti sebentar di dekat sebuah kios kecil , saling menatap dan terpana. Aku hanya akan menunggu sebentar dan tak hendak mengatakan suatu apa pun. Tapi matamu seperti menuntutku untuk bicara. Sedang kau tahu aku tak bisa. Sebaliknya akulah yang kemudian menuntutmu, pula dengan mataku. Tapi setelah sekian detik berlalu, aku pun baru tersadar kau tak akan mengatakan suatu apa pun juga.. ah, andai saja kita tidak di pinggir jalan itu dan basah kuyup oleh cahaya lampu mercuri, tentu kau akan berfikir sama denganku saat ini, menerka kemungkinan terdekat yang dapat terjadi dalam himpitan degup jantung kita masing masing ketika itu. Benar, kan? Jangan bilang tidak. Aku sudah mengatakannya. Kau hanya perlu mengangguk kecil atau tersenyum tipis tanda setuju...haha..

Linh, sungguh aku rindu dengan suara tawa itu, cubitan panjang yang menggetarkan itu. Ketika bangun pagi ini, aku berharap membuka mata dan terkejut bahagia demi mendapati diriku terlempar ke masa sewaktu kita berkemah di puncak bukit Panderman. Kau tampak sedemikian cantik dengan sweeter tebal warna biru dan syal merahmu, memegang cangkir kopi yang masih berasap asap. Kau mengerling dan tersenyum betapa manis.
“kopi...”, katamu pendek sembari menyodorkan cangkir itu ke arahku. Tidak, Linh. Sebelum aku melihat matahari dari pintu tenda yang terhalang olehmu, aku telah melihat matahari itu telah ada di depanku. Minumlah kopinya dan kau sudah membuat pagiku begitu sempurna hingga tak perlu lagi aku meminum kopi demi menambah kesempurnaannya.

Sedamai inilah mestinya kita. Aku katakan padamu ketika itu, adakah serasa ini di kota? Matamu bersinar. Dan kau tersenyum sedikit mengejek,

“jangan naif”, tukasmu rendah. “kenapa tak nikmati saja yang ada. Jiwamu terbebani oleh pikiran pikiran yang mungkin kosong”.

Sedikit dongkol juga aku mendengarnya. Bagaimana kau dapat bicara demikian. Tapi satu hal yang harus kuakui, bahwa kau adalah gadis paling cerdas dan lincah yang pernah kutemui. Tawamu kecil dan ringan saja lantas kulihat terbit, seperti penghapus bagi butiran debu. Kau melirikku dengan sedikit cemas, dan aku sudah akan tahu yang kau maksudkan. Segera kubangkit, merebut cangkir kopi itu dan berpura pura marah. Kau menepis, tapi aku terlanjur memburu. Bukan lagi cangkir kini yang kukejar, melainkan pipimu... Kemudian kudengar kau menjerit, seolah menghindar dengan matamu memejam rapat. Darahku menggelinjang kepalang basah, seperti merayakan terbukanya gerbang yang tertutup rapat. Sebuah tenaga gaib yang tiba tiba menerjang, bergerak begitu cepat dan tak mungkin kuhentikan. Secepat itulah lalu aku menyerbu wajahmu...Ah, siapa sangka aku melakukannya. Menciummu di sepagi itu. Siapa kira kau pun tak menahannya. Kau tersipu seperti gadis kecil yang masih lugu. Dan tangan kita terangkum, merapat pada gagang cangkir, sedang punggungmu lekat di dadaku hingga dapat kubaui rambutmu...Hanya sebuah ciuman! dan gejolak rahasia mengalir dalam detak nadi kita. Gejolak yang sama sama kita tahu dan mengerti, tapi tak hendak kita katakan. Sesuatu yang seharusnya, tapi tak musti kita cernakan dengan lidah.

Linh, aku tak akan melebarkan atau memperkecil lingkar hubungan ini. Kita nikmati saja yang ada, seperti yang biasa kau katakan. Tapi tidakkah kau merasa kita telah melangkah sedemikian jauh, menautkan hati sedemikian dekat? Kita tumbuh dengan sadar dan alamiah saja, mendedah batas batas kemungkinan seraya mengingkari titik kewajaran. Apakah menurutmu kita ini masih wajar?

Ketika kubaca suratmu yang terakhir, saat itu pula aku menangkap sekilas kesan, kita menahan keresahan yang sama, sebuah mitos yang kita pelihara sepanjang waktu untuk tidak kita pikirkan, apalagi putuskan. Padahal aku telah menyadarinya pula di jauh hari. Akan tetapi betapa seganku padamu yang bisa begitu ringan melangkah, tersenyum dan tertawa, mencegahku untuk membuka, bicara. Andai semua ini kita dapati dalam cakapan cakapan yang lampau, mungkin segala sesuatunya akan tampak sederhana.

Tapi apakah yang kaupikirkan, Linh? Apakah terlintas di benakmu untuk menggulung waktu dan mengajakku mengulang semua dari permulaan? Atau sebaliknya aku yang akan mengundangmu kesana? Adakah kita menjatuhkan diri pada kesederhanaan setelah semua yang terjadi? Atau berteriak bullshit pada segala tindakan kita yang sengit. Apakah kita akan meletakkan begitu saja benda yang sekian waktu kita genggam dengan berat dan menyerah begitu saja pada tindasan waktu yang memang tak selamanya...Kita akan berhenti di sebuah masa. Tapi kita akan berhenti sebagaimana harusnya.

Sebentar! ...Apakah menurutmu aku terlalu berlebihan? baiklah dengar, begini saja aku bertanya kepadamu, adakah kau masih Linh ku, perempuan yang kupeluk di keheningan pagi, pula wanita ksatria yang memanggul busur dan anak panah, menyeruak debu dengan mata setajam garuda?

Katakanlah ‘iya’, begitu saja dan aku akan bahagia.......tapi bila saja kau diam, saat itulah aku akan baru yakin betapa kau sudah lagi tak ada.


Malang 1 Maret 2006
0 Comments:
Post a Comment
 
PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Previous Posts