Photobucket
Friday, June 22, 2007
YANG DISEMBUNYIKAN PEREMPUAN
apa yang sedang disembunyikan perempuan
mataku menelusup di jalan bunga warna warni
menyusur yaang mungkin kuingini

atau adakah yang kucari diriku sendiri
yang memaksamu menjadi sebentuk pikiranku

di saat yang sama aku pula membatin
betapakah keinginan terantuk di luaran
dan itu haruslah kamu, kau peluk
kausodorkan ke depanku

jika sungguh benar betapa bodoh
aku mungkin hanya seorang narcisius
dan kau tak lebih dari genangan air telag di hutan ini

bisa kurasa getar tawa peri hutan
berputar putar di sekelilingku

apa yang sedang disembunyikan perempuan
atau aku yang tak sungguh sungguh tahu
serupa apakah keinginanku itu?

malang 18 juni 07






TENGADAH
tengadahku gemetaran didorong gelisah berlimpah limpah
saat dilarut ku di amukan dendam, ia menelan apa saja
segala kewarasan yang desakkan melalui berlaksa laksa apologi sekali pun
seperti menjelma sebutir kecil aspirin

dan tengadah seperti ini, darahku ngalir kepedihan
betapa tak berdaya ku
di ingatan hadiranmu






Monday, May 28, 2007
CINTA MAKI
aduh, cintamu kekasih
kuserap selayak racun
kudendam kurabun

dimana
di sana
dirana
di sirna

hancur ku
hancur mu
damba mu
hancur ku
rabun mu

siapa,
lagi dan lagi!




Sunday, April 08, 2007
SAJAK CINTA DEMONSTRAN
aku bikin selebaran ini, kekasih
seperti ketika seorang demonstran tertembak mati
segenting amuk massa
di tengah kobaran aksi

orang orang ini bangkit
dari gorong gorong kota
mengalir dari ladang ladang yang nestapa
seperti juga aku
terhasut salakan jiwa
dibakar amuk rasa

aku kirim selebaran ini, kekasih
demi harapan agar kamu percaya
bahwa sengit surya
di aspal jalan jalan kota
tak sanggup redamkan asa
betapa insektisida melangit harganya
sedang kelaliman pasar
telah lama jadikan saat panen tak pesta

itulah alasan kenapa aku tumpah di sini
memekikkan yel yel
dan mengibarkan panji panji cinta
kepadamu

sebab seperti juga mereka
aku berikan selebaran ini, kekasih
karena aku begitu mencintai hidup
lantaran harapanku padamu
adalah suburnya padi
yang tumbuh di ladang hati yang bersih
bukan dedar benih obsesi lantas mati
pula candu obatan pabrik yang bilai
selayak mimpi petani
yang merdeka menjual hasil kerja
tanpa harus gemetar
di hadapan teror permainan harga

aku hasut kamu kekasih
untuk mencintaiku
seperti kebenaran para penghuni gorong gorong kota
yang terjepit
seperti kepapaan yang melulu menghimpit
yang menyumpah dan mengumpati hidup
akibat sulitnya hidup
yang meratapi lambungan harga harga
akibat timbunan barang barang langka
yang sebenarnya tak langka

aku hasut kamu kekasih
untuk kumiliki
karenanya aku tulis selebaran ini
lantaran dalam hidup
aku masih kuasa untuk bermimpi!



Wednesday, March 14, 2007
SEGALAYA CINTA
segalanya adalah cinta!
kerna bunda pun lahir
pula dari rahimnya


dan noktah hitam merah resah:
seperti juga kebencian
adalah cinta yang lalu dibikin luka

selayak serta keberanian
tak lain dari timbunan rasa takut
yang lantas menyala !


Friday, February 09, 2007
TANPA JUDUL (III)
puisi puisi ini, mungkin semakin sepi. makin pula ia seolah tak berarti.
tapi aku tak pernah menutup sampul bukuku. dan bolpoin bolpoin ini
seperti pilar pilar mungil yang menyangga dinding hati yang ringkih,
menghidupkan setiap sudutnya, membiarkan pijar pijar kepercayaan
tetap kokoh dan bertahan, merangkum harapan demi harapan untuk
menyematkan gambar wajahmu di cakrawala langit negeri dongeng
dunia mimpiku.

mungkin tak hirau lagi. kautarik diri untuk coba tak peduli. menutup hati
demi tinggalkanku di taman ini, sendiri. tapi bunga bunga ini, sayangku,
aromanya bisa menembus sepersekian inci dari setiap lobang cahaya.
karena bunga adalah pacar langit, pacar matahari. dan kekuatannya
kuserap menjadi akar cintaku yang tak terperikan,
memujamu selayak putri tercantik yang diberkati.

itulah alasan kenapa aku tetap menolak untuk mundur. cinta yang mencap
di dadaku adalah anugerah langit yang menjadikanku seperti ksatria agung
dengan busur kencana, menunggang kuda putih berpelana perak, melompat
dan menjelajah padang rumput, ngarai dan lembah lembah demi menemukanmu
lagi yang tersembunyi entah dimana. menjemputmu kembali ke taman itu,
menyirami bunga bunga.

CINTA
hai cinta ini dusta
hai cinta aku jujur berkata
cintaku maya dan berubah
cintaku resah


cintaku kejam berdarah
cintaku abadi sukma

hai cinta ini luka
hai cinta aku bahagia
hai cinta ini murka
hai cinta aku cahaya

nirwana
ini cinta
candradimuka

KEKASIH SENJA
ahai, cantiknya kau tertawa
gadis kecilku yang anjak dewasa
sebelum pagi
sungguh benar merangkak sempurna


megamu warna perak keemasan
terbit di lanskap langit yang kusam
dan pekat malam kausisir
kautebas dengan lembut menawan

ahai, indahnya kau melangkah
bidadari mungilku yang menyimpan rahasia
bolehkah aku bermimpi
dibuai jenak jenak pana yang resah

matamu lembut tajam
menikam bumi tempatku berpijak
dan mataair memancar curam
mengaliri sungai tempatku menulis sajak

jika malam ini datang
kunanti rambutmu yang berkilat legam
dan wajahmu bersinar sinar
selayak bintang bulan yang pualam

ahai, manisnya kau tersipu
mengerling dan melompat lincah setingkah itu
hingga boleh pulakah tangan ini kurengkuh
kugenggam penuh seluruh

dan pastilah aku ini lelaki dungu
jika tak sampai jatuh di pesonamu
kau, kekasih senjaku
mengelak sekali pun
sungguh ku tak mampu

NURI
menatap seekor nuru
menawan terbang rendah
lincah ia bertingkah
digerai bulu bulu cantik
hinggap ke jiwa


di atap rumah dedaun rindang
nuri kecil lantas pamerkan suaranya
meski tak beranjak memanggil
mataku terkesima

hingga biarlah,
kutanam pokok pokok melati
di hatiku
dan kuantarkan bunga bunganya
ke hatimu

nuri kecilku

AIR CINTA
adakah yang lebih hebat dari ini
getar yang mencengkeram
menerkam segala kepintaran kita
demi tak tertangkap


seperti pula aku yang tak mampu menghindar
berkelit ke arah manapun
aku justru menemui keterpelantinganku sendiri
di hadapmu
aku tak bisa menolak yang didesakkan oleh hatiku:
aku mencintaimu

tapi sudahlah,
aku bahkan tak ingin kau salah menilai
keadaan seperti ini adalah keniscayaan air sungai
yang menuruni tebing hingga ke ngarai
ia tetap indah dengan sendirinya
dan aku mencintaimu sewajarnya saja
mungkin tanpa perlu bergerak seperti terjunan
menandas batu dan dan membuat cekungan
sedalam yang ia inginkan

BULAN MATAHARI
seperti matahari yang memancar
sedang ia tetap bergerak
seperti malam yang pekat
tak luka oleh rembulan
waktu mengiringku
dalam ketetapnnya yang mutlak


begitu niscaya
kebenaran hadir tanpa bisa tercegah

begitulah kau lantas pesona
cahayamu tandas sudah
dan rebah ku tanpa daya

gadis, jika menolak pun tak bisa
mengelak tak kuasa
lalu apalagi yang tersisa

hingga di hadapan matahari
atas nama malam
dan tatap lembut rembulan, kekasihnya
aku mengaku kepadamu, dengan cinta

sungguh, kau rembulan bagi malam itu
pula matahari yang diasuh waktu
untuk kemudian di sematkannya
ke relung dada yang rindu

kau kesasih bagi setiap kobaran mimpiku

RES
betapa terasa berat hari ini lalu.
menunggumu di sini, aku seperti kemarau yang rentan.
menanti tanda demi tanda: adakah hujan akan tiba.
meski tak sehebat yang kuharapkan,
setidaknya senyummu yang terbit indah
adalah gerimis kecil yang manis,
mengikis ranah hari yang lelah dan nyaris luka


dan sudah bermenit menit aku di sini
setitik air pun tak tampak jatuh dari langitmu
dan ketika sekali lagi aku tanyakan kabarmu pada mendung
saat itu pulalah ia membalikkan tubuh
seperti sedang coba sembunyikan sesuatu

apakah yang terjadi, sayangku
apa yang rahasia di balik mendungmu
adakah yang salah dari bumi yang rindu
sedang kilatan cintanya
tengah dihantam badai yang risau

dan di sinilah aku malam ini
tak pejam pula terjaga
wajahmu kuresahi berlimpah limpah
dengan cinta dan secuil tanya

PADA WAKTU
seekor camar hinggap di karang
percik ombak mengusap wajahnya
ketika beranjak ia terbang
ombak tak pernah tinggalkan karang


begitulah waktu lantas pertemukan laut dan daratan
ombak tetaplah ombak
tak lekang di malam pula siang
sebab dari kedalaman samuderanya
telah ia miliki gelombang

dan seperti itu pulalah aku
kau daratan bagi laut lepas yang rindu
aku ombak yang berdebur di karangmu
kita bertemu di pantai itu
dengan hukum niscaya sang waktu

malang, 20 mei 2006

TANPA JUDUL (II)
ketika matahari pancar alangkah indah
indah pula mimpi bunga bunga
hatiku diterangi sebentuk cahaya
betapa bunga musim yang hendak tiba


kekasih, cinta kita terbit
jadikan pegangan biga kepercayaan
mimpi tak lagi bayangan
kita peluk di degup tertahan

ketika matahari telah jadi milik pagi
segeralah kita berkemas
membereskan segalanya
demi sempurnakan apa yang telah jadi miliknya
karena mimpi tak boleh hanya bayangan
kita timang kita sayang sayang

malang 6 juli 2006

TANPA JUDUL
berhamburan kisah hari di tikungan jalan yang belum benar terang.
alangkah rahasia benang benang nasib. ketika kutangkap tanda dari mata,
aku menelisik apa yang mungkin tersimpan di kedalaman hati yang memilikinya.
dan 'tika tampak pula apa yang tak mampu dirahasiakan hatinya,
maka pada matamu aku tuliskan ribuan sajak yang hampir tanpa akhiran.
kata kataku mengalirkan bunga dan wewangi, menyanjungmu dalam desah angin
pagi dan kepak sayap seribu burung dan kupu kupu, seribu warna pada tiap helai bulu bulunya.


alangkah rahasia benang benang nasib. aku menyerap cintamu sedalam sesak dada yang risau.
kau jadi udara yang membuatku tetap hidup. dan 'tika kaudedah aku
dengan percik percik pertanyaan itu, maka telah kaubuat pula keseimbangan hidup menjadi goyah.

maka kukejar dimanakah gerangan matamu. kutelisik kembali hatimu dengan rindu.
seribu tanya pun tumbuh, membelukar, bercabang dan semakin sarat beranting semak, kering dan membaharu.

ah. kau jadi udara yang beracun jadinya. mataku nanar silau merah. memburu, meningkahi apa saja.
ketenangan raib di ubun ubun senja, aku berteriak menuding kiraban mega mega,
kekasihku, dimana kau menyembunyikannya?!

aku terjatuh di kaki bukit tandus itu dan mengenangmu di bawah pohon randu yang sepi:
masihkah kaupeluk mimpimu, dengan seorang lelaki yang menyematkan bunga di telinga
dan membacakan sebuah puisi di malam malam yang terjaga

kekasihku.

malang 5 agustus 05

MUSIM DI MATAMU
sekedar menatapmu
adalah anugerah


aku terbakar oleh matamu
sedemikian lembut
meranggas dari dalam
membekas di relung jiwa

gadis, jika benar dunia ini adil
pasti akan diberikannya engkau
kepadaku!

di matamu itu tertambat seluruh musim
dan di saat pergantian waktu
kurindukan semua penat ini berlalu
dipeluk mimpi akan syahdu

dan kala bangun di pagi hari
akan aku dapati seorang ibu
yang gesit mendandani putranya
yang hendak pergi sekolah
kulihat ia dari balik jendela
sebentar kusibakkan kesah
dan kudekati ia, kucium keningnya:

"lihatlah, betapa manis dan lincah anak kita..."

kautersenyum dan mengerling mata
mata yang sudah sedemikian dekat kukenali
yang di dalamnya tertambat seluruh musim
yang selalu ingin kujelajahi
setiap jengkal dan sudutnya

malang, 8 juli 05

ELEGI MIMPI
pijar hati bakar emosi
jelma elegi mimpi berapi


kekasih yang kusemati puisi
telah lama menjadi puisi itu sendiri
mengalir bak mata air
wujud sungai tanpa tepi

di sanalah ingin ku mandi

malang 9 juli 05

TERSEDAK
aku tersedak
di tengah lingkaran yang membusar
cahayamu kuserap selayak racun
yang menjadikanku tak lagi seimbang


aku dibekap gugusan mega tebal
hiruk pikuk di poros sendiri:
kau rebut aku punya kendali!

malang 2 juli 05

ANAK PANAH
di suatu masa yang terhenti
kutulis syair di matamu
di masa berikutnya:

mata anak panahku berdesing pula
bersemat sajak dan bunga bunga
melampaui malam kembang gemintang
di ceruk mimpi berkalung sayang

di taman penantian inilah aku bersinggasana
dengan sayap putih yang kupinjam dari malaikat
betapa gagahku yang berselempang busur kencana
menyanjungmu penuh sarat
rahasia purba
agung dan keramat

malang 24 juli 05

JIKA ENGKAU
jika engkau samudera
maka kauingatkan aku pada pantai
dengan pasir dan nyiur
karang dan debur
membelai kaki kaki bukit rinduku
dengan desah angin yang meniup landai
dan kedalamnnya ingin kuhisap
sebagai anugerah tak berperi

jika engkau hutan
maka sejukmu damaiku
yang mengalirkan air di celah celah berbatu
menggercik di sela pohon dan bebunga
ditingkah senyum kupu kupu
dan seluruh makhluk meminumnya
demi lanjut takdir rantai penghidupan

sedang jika engkau langit
maka mimpi dan harapan
kusematkan di atapnya!

dan air samuderamu terbang diserap matahari
kemudian hinggap di langit
diberkati dengan mendung
untuk kemudian turun kembali
jatuh selayak permata di bumi jiwaku

basah, airmu mengaliri sungai
melampaui hutan dan ngarai
tembus di belukar
memantik kabar pagi pemujaan

maka kekasih
di sinilah lantas aku menunggu
hadir demi menanti
menjemputmu

malang 26 juni 05

SAMUDERA CINTAMU
aku terhantam ombak
terseret jauh ke tengah
timbul tenggelam
di mulut gelombang


engkau menjelma samudera
yang segera ingin kuselami dasarnya
berdeburlah...
hingga dapat kudengar gemuruhmu
hingga aku pun sang pecinta
yang lebur dalam indahmu
yang melampaui jejak waktu
dalam berkah dan anugerah
penciptaanmu

malang 10 juni 05

DI GARIS PANTAI
gemuruh laut dengan angin dan gelombang
menyisir jauh di garis cakrawala
mataku silau oleh pantulan bunga bunga terbang
merjan merjan cahaya berkejaran


di garis pantai semua tampak indah
pula menyimpan rahasia
aku baui setiap tanda dari sini
di bimbing ombak yang memetik dawai

kosong, terkadang bohong
apa gerangan yang timbul tenggelam
makin karam
makin kelam

di malam hari aku memeluk pasir
kuremas di jemari mimpiku
betapa bebas bintang bintang itu terkebar
kulempari dengan puisi yang terbakar

hangus ia oleh rindu
di pagi langit warna biru

BEKU KITA
apa puan hendak bilang?
saya sudah bikin kota ini begini beku
puan jadi batu kristal di etalase kaca
saya pandang setiap waktu
dengan bisu

ketika waktu begini lembab, dulu
saya menjentik hidung puan
dan musim tiba tiba berubah kala itu
bunga bunga semi di taman
kita bernyanyi lagu seolah tak hirau
puan tersipu seperti gadis kecil yang hijau

lantas, seusai duduk kita berhadapan
puan pula tiba tiba mengerling aneh
apa puan hendak bilang?

ada ulat di bunga bunga itu
puan larut dalam tembangnya
sedang saya tiada dengar

dan puan tak bilang apapun jua
capailah saya jadi si pandir yang nestapa
saya tak lagi hendak tanya
puan telah tahu apa gerangan jawabnya

yah, puan tak usah bilang apa
di sini saja kita beku bersama
puan jadi batu kristal di etalase kaca
saya pandang setiap waktu
dengan bisu

malang 24 juli 05

LINH ( II )
linh,
kaupuja aku karena puisi puisi ini.
karena masih lekatku dengan dengan baju zirah dan sepasang sayap perak di punggungku.
yah, aku sedemikian gagahnya berdiri, memanggul busur kencana, kutopang dengan lengan berbalut besi warna saga

kauimpi aku yang berkibaran dengan kain bianglala,
berbuka dada dan berwajah tengadah.
kauisi relung keterasinganmu dengan anggur imaginasi
tentang pangeran yang menerobos kerumunan
dan membelah karang dengan keberanian gelombang laut selatan

linh,
aku disini. dengan semua gegap gempita di sumbu diri yang masih gelisah.
merahku menjadi inspirasi matahari, sementara malam menelanku berkali kali

linh
jika kukata merdeka dan jantungmu bergetar, kirimkan bunga pada malam dan ceritakanlah semua kisahmu kepadanya:
adakah setiap buncah di jiwamu
sudah cukup seimbang dengan seuntai saja dari bait bait puisi ini
serta debutan kuat yang mendesak dari bentangan lanskap hidup penyairnya

linh

malang 20 juli 05

PUISI CINTA YANG TERJAGA
sayang, aku cintai kamu seperti pagi dan rasa berat di mataku ini.
aku dambai kamu seperti kopi di gelas butut yang temaniku begadang semalaman ini

dan atas alasan ini pulalah kenapa mataku tak pejam,
menolak mimpi lurusnya pematang perjalanan
di saat malaikat di jiwa sendiri tak berkenan

sayang, cerahnya pagi dan mata yang menuntut jedah panjang peristirahatan
adalah kejelasan tuntutan lenyapnya matahari pagi.
akan aku lewatkan kicau burung dan orang orang yang bergegas ke tempat kerja.

kopi di gelas ini selalu terbagi dalam sari yang mengendap, terpisah dengan airnya.
meski mereka telah menyatu, tapi sari tak pernah menjadikannya benar benar air.
ia adalah bagian dari kopi di gelas ini pula

lalu bagaimana aku mampu biarkan diri mencintai
jika aku sendiri tegak di ujung terjalan sebelum membuatmu mengerti,
bahwa aku masih belum menerima kewajaran yang selalu tak pernah kuanggap wajar dan pasti.

bunga tak pernah tumbuh di tanah yang tak menumbuhkan bunga.
cinta terbit di atas kesepadanan rasa dan keseimbangan pernyataannya atas ruas jalan yang mungkin ia dedah.

dan seperti pagi ini juga, berat mata dan segelas kopi jangan jadikan puisi tak lagi terjaga.
kitapun musti merdeka.

malang 17 juli 05

CERITA BULAN DI KAMARKU

bulan terjatuh di atas bantal
kaca jendelaku memergokinya
dan lalu cepat-cepat ia bersembunyi
di bawah dipan tempat tidur.

Belum sadar benar ia ketika dilihatnya sepasang sepatu adikku melirik tipis.
Mata mereka berbenturan
Dan sang bulan begitu tampak salah tingkah

Digesernya tubuh hingga pada sebuah belahan sempit
di antara buffet dan meja belajar
Dan buku-buku dan lukisan
Vas bunga dan minuman
Menghujaninya dengan sorot mata penuh tanda tanya

Dan ketika itu dia benar-benar tersudut
hingga tak mampu lagi berbuat apa-apa:
Peluhnya membandang
Menggeletar nafas
Kekalutannya menyambar-nyambar

Hingga perlahan-lahan sinar di sekujuran tubuhnya mulai memudar
untuk akhirnya sirna
Menjadi bola tanah berbatu
yang tampak lebam menghitam

Matahari lantas meninggalkannya
Dan angin menelanjangi tubuhnya

Pagi hari
Seperti biasa
Kuambil sapu dan membersihkan kamar
Dan debu-debu kubasuh hingga tak bersisa

Malang, 20 maret 2002

PERCAYALAH
percayalah
jika nanti tak kutemui subuh
maka malam akan menelanku bulat-bulat

di saat itu aku melihat kelelawar yang berselendang pekat
dan burung-burung hantu bertengger di dahan dahan tua
pada oak yang mencakar bulan sabit

di matanya menampak kematian
dan suaranya menyayat ringkih
membentur dinding jumawah
serta melumpuhkan seluruh jaringan otot dan syaraf keberanian
yang sebenarnya hanya tersisa segaris saja
di timbunan keruh kelopak mata


malang, 6 desember 2003

YANG TERSISA
Dan beberapa lembar rindu kuremas-remas hingga tak berbentuk
Dan lalu kulemparkan begitu saja di keranjang pojok kamar


Begitu penatnya hari ini yang terus kuhitung melalui gugusan angka-angka
Dan suara-suara dalam dadaku semakin terdengar begitu menggetir di buih air ludahku sendiri.
Seperti ratap yang bercampur penyesalan
Selayak apologi yang berbaur caci maki

Dan kerinduanku itu seperti hantu
Yang menyimpan dendam di jalan nafas
Andai dapat kutangkap engkau
Pastilah kan kulepas kembali
Sebab yang tersisa dari rinduku
Hanyalah sekedar untuk melantakkan bayangmu
Dari perih di merah mataku

Jombang, 6 desember 2003

SETELAH PERNAH KUTATAP MATAMU
setelah pernah kutatap matamu
maka bayang-bayang wajahmu tertinggal di kelopak mataku

dan hingga kendati begitu kencangnya aku berlari dan bersembunyi di semak-semak yang tertutup tebing tinggi
senyum dan tawamu tetap saja tak kuasa kutepis

enkau hadir selayak matahari di setiap pagi
dan kepekatan tatkala siang pun berganti

dan andai kau raih tanganku
saat kurapatkan degub jantung di geladak pantaimu
maka hariku adalah bunga
hingga tak perlu aku berlari dan bersembunyi
sebab senyum dan tawamu
pastilah kunikmati

tapi ketika kudapati kau sekedar tersipu kecil
sembari memalingkan wajahmu
serta lalu keuceritakan tentang taman yang kaurindu
maka rintihlah aku
hingga terasa begitu getirnya menatap senyum dan tawamu
sebab ia pastilah bukan untukku

lalu malam pun menyergap tiba-tiba
dan aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk tersenyum dan tertawa
dan ketika kau pergoki kehancuranku
saat itulah aku menjelma teror di matamu
kaugeser palingkan pualammu

aku berdiri salah tingkah
“kenapa begini akhirnya…”, tanya batinku tak mengerti

bukankah aku adalah kembara
yang menanggungkan rasa sakit atas cerita tangkai bunga yang pernah retas, hingga pula telah kuhisap bunga-bunga liar di sepanjang jalan
dan lalu kudengar burung gereja bernyanyi di pagi hari
kabarkan padaku akan kedatanganmu

dan saat itulah kulihat engkau dengan tatap bersahaja
hingga lalu kutinggalkan bayang-bayang masa lalu
dan kuhampiri engkau
untuk kembali belajar membelai tanganmu

dan setelah pernah kutatap matamu dalam-dalam
maka wajahmu pun tertinggal di kelopak mataku

dan hingga kendati begitu kencangnya aku berlari dan bersmbunyi
senyum dan tawamu tetap saja tak kuasa kutepis

jombang, 5 desember 2003

MALAM BUNGA

Dan malam pun menjadi jawab!

Setelah kaulolos semua keberanianmu
Betapa perkasanya perempuan!

Buktimu telah menghapus segaris kernyit pada dahiku
Hadirmu, memberanguskan cibirku
Akan lemahmu

“dan biarlah cinta menjadi merdeka!”,
katamu

hingga,
“biarlah engkau menjadi matahari kemilau kebanggaanku!”,
kataku

dan di pagi yang mulai belajar bernyanyi
betapa kau tampak begitu sempurna
sesempurna mimpiku

malang, november 2003

PURNAMA MALAM
Bulan jatuh di pantai
Disergap ombak
Terseret jauh ketengah
Timbul tenggelam di mulut gelombang

maka purnamalah malam ku
yang melolos setiap serpihan cahaya
dan menebarnya di lelembutan pasir putih yang berkilau
tembus di sela-sela pohon dan bebukit

hingga purnamalah malam ku
yang bertabur bintang
menghardik segerombolan mendung tebal
serta menggantikan dengan kapas
yang lembut menusuk wajah nya

dan purnamalah malam ku
yang memimpikan camar hinggap di karang hati
melukis matahari
untuk melepas nelayan
esok pagi


Malang. Oktober ‘03

PESAN UNTUK SIANG
senja bisa datang kapan saja
dan jika benar malam mengikutinya,
setidaknya aku harus meninggalkan pesanku
untuk siang

lihatlah,
betapa puisi puisi ini memujamu
tergila gila kepadamu
dan semua kata yang pernah kaukenali
menyerbu bak bandang yang tak terduga!

dengarlah,
kata kata itu menjadi aliran mata panah
berdesingan;
menembus jiwaku sendiri!

kata kata yang begitu megahnya
membelai rambut dan matamu
merajuk bak kanak kanak yang berharap mainan;
melolong di kolong hati!

rasalah,
betapa puisi puisi itu hidup, ia bernyawa
berselempang sutra ungu
bermahkota permata jingga
degup jantung dari rangkaian kata katanya
adalah desah nyanyian di negeri dongeng
yang menjadikanmu putri terpilih dan terberkati
tersenyum begitu cantik
indah, di tengah padang bunga bunga

dan maklumkanlah,
ketika lelaki ini sedemikian khusuk
terjaga di suatu senja
sekedar tuk menuliskan pesan
sembari menyelipkan gambar kekasihnya di cakrawala
kekasih yang dipuja oleh puisi puisi yang ia tulis
yang tersenyum begitu cantik
indah, di tengah padang bunga bunga.

BUNUH AKU
selayak benturan yang sedemikian dahsyat
menggoncang tebing dan dinding bukit bukit jiwa
pada suatu masa yang terhenti

di saat itu, ia sang lelaki
segera tertawan dalam bayang bayang gemuruh
merangkainya menjadi bait bait sajak yang hijau

di waktu malam,
lanskap hitam membentang
menjadi permadani
acap kali ditatapnya langit
seperti mencari sesuatu yang selalu ia nanti

di saat itu, ia sang lelaki
ditawan kobaran api dalam dadanya sendiri
dan sebuah bintang cemerlang
tak lekang dari poros mata
tangannya menggapai cakrawala
seperti mencoba meraih entah

dan masa kembali terhenti
lanskap hitamnya membentang lagi
menjadi permadani

di saat itu, ia sang lelaki
sudah tak tampak lagi
seluruh jiwanya tertutup bunga bunga api
dibalut sajak keinginan yang bertubi tubi

dalam sesak yang nyaris tak berbentuk
yang mengendap menjadi sepi
ia, sang lelaki
pada bintang cemerlangnya mengenang lirih,

raih tangan ini, kau ksatria ruhku
bakar dan hanguskan jiwa ini dengan matamu
atau hunjamkan pisau itu
di sini...
tikam dalam dalam sampai di pusat hati
bunuh aku dengan cintamu
hingga ke hulu!


LINH
Linh,

Pagi, ketika matahari terbit seperti sekarang ini, aku justru sedang terbenam, terlipat di balik selimut. Kau tentu sudah mandi, bukan? Sarapan ceplok telur setengah matang kesukaanmu dan meminum susu instan. Ya, waktu itu kaubilang – entah sekedar berdalih – tak ada lagi penjual susu keliling seperti di kampungku sewaktu aku masih kecil dulu. Kota telah tumbuh sebagai dirinya. Bahkan terkadang di luar yang kita duga. Apa yang tidak diinstankan oleh kota? Bahkan air ludah kita pun sudah beku sebelum sempat keluar. Kau tertawa waktu itu, dan aku sungguh menyukainya.



Hhmm..aku jadi teringat waktu kita berdua jalan kaki setelah menikmati pertunjukan teater malam itu. Kamu tertawa terus sepanjang jalan mendengarku bercerita tentang hal hal konyol. Dan di sela selanya, aku sering berusaha mencuri matamu. Aku suka sekali melakukan itu sementara kau tak menyadarinya dan terus saja tertawa dan bicara. Sedang di sana, di sebuah sudut yang jauh. hatiku terpekur dalam jenak jenak rahasia yang dahsyat dan dipenuhi gairah. Dan ketika tiba tiba terdengar jerit klakson angkot menyilahkan kita untuk naik, dengan setengah terkejut kita lantas menoleh hampir berbarengan. Aku cerna sudut matamu selepas entah begitu cepatnya aku menyuhut ‘tidak’ pada sopir angkot itu sembari melambaikan tangan tanda penolakan. Kau menatapku dengan dalam, seperti menyelidik sesuatu. Hal yang kemudian membuatku tersadar, apakah mungkin aku bertindak dangkal? Tapi kau tahu, betapa cepat pula aku berreaksi. Tempat tinggal kita masing masing masihlah jauh, dan aku tak hendak mengatakan sengaja melakukan itu karena aku senang berjalan demikian bersamamu di malam selarut itu. Aku tak punya alasan yang sungguh sungguh tepat dalam kejaran matamu. Dan begitulah, aku melirik, meledekmu dengan senyum tertahan yang sengaja kusembunyikan, tapi sebenarnya demi agar kau melihatnya.

Aku akan tahu jawabanmu sebelum akhirnya kau mencubitku lama sekali sembari memelototkan mata berlagak menakuti. Tapi tentu saja aku tak takut dan itulah yang kauharapkan. Kita berhenti sebentar di dekat sebuah kios kecil , saling menatap dan terpana. Aku hanya akan menunggu sebentar dan tak hendak mengatakan suatu apa pun. Tapi matamu seperti menuntutku untuk bicara. Sedang kau tahu aku tak bisa. Sebaliknya akulah yang kemudian menuntutmu, pula dengan mataku. Tapi setelah sekian detik berlalu, aku pun baru tersadar kau tak akan mengatakan suatu apa pun juga.. ah, andai saja kita tidak di pinggir jalan itu dan basah kuyup oleh cahaya lampu mercuri, tentu kau akan berfikir sama denganku saat ini, menerka kemungkinan terdekat yang dapat terjadi dalam himpitan degup jantung kita masing masing ketika itu. Benar, kan? Jangan bilang tidak. Aku sudah mengatakannya. Kau hanya perlu mengangguk kecil atau tersenyum tipis tanda setuju...haha..

Linh, sungguh aku rindu dengan suara tawa itu, cubitan panjang yang menggetarkan itu. Ketika bangun pagi ini, aku berharap membuka mata dan terkejut bahagia demi mendapati diriku terlempar ke masa sewaktu kita berkemah di puncak bukit Panderman. Kau tampak sedemikian cantik dengan sweeter tebal warna biru dan syal merahmu, memegang cangkir kopi yang masih berasap asap. Kau mengerling dan tersenyum betapa manis.
“kopi...”, katamu pendek sembari menyodorkan cangkir itu ke arahku. Tidak, Linh. Sebelum aku melihat matahari dari pintu tenda yang terhalang olehmu, aku telah melihat matahari itu telah ada di depanku. Minumlah kopinya dan kau sudah membuat pagiku begitu sempurna hingga tak perlu lagi aku meminum kopi demi menambah kesempurnaannya.

Sedamai inilah mestinya kita. Aku katakan padamu ketika itu, adakah serasa ini di kota? Matamu bersinar. Dan kau tersenyum sedikit mengejek,

“jangan naif”, tukasmu rendah. “kenapa tak nikmati saja yang ada. Jiwamu terbebani oleh pikiran pikiran yang mungkin kosong”.

Sedikit dongkol juga aku mendengarnya. Bagaimana kau dapat bicara demikian. Tapi satu hal yang harus kuakui, bahwa kau adalah gadis paling cerdas dan lincah yang pernah kutemui. Tawamu kecil dan ringan saja lantas kulihat terbit, seperti penghapus bagi butiran debu. Kau melirikku dengan sedikit cemas, dan aku sudah akan tahu yang kau maksudkan. Segera kubangkit, merebut cangkir kopi itu dan berpura pura marah. Kau menepis, tapi aku terlanjur memburu. Bukan lagi cangkir kini yang kukejar, melainkan pipimu... Kemudian kudengar kau menjerit, seolah menghindar dengan matamu memejam rapat. Darahku menggelinjang kepalang basah, seperti merayakan terbukanya gerbang yang tertutup rapat. Sebuah tenaga gaib yang tiba tiba menerjang, bergerak begitu cepat dan tak mungkin kuhentikan. Secepat itulah lalu aku menyerbu wajahmu...Ah, siapa sangka aku melakukannya. Menciummu di sepagi itu. Siapa kira kau pun tak menahannya. Kau tersipu seperti gadis kecil yang masih lugu. Dan tangan kita terangkum, merapat pada gagang cangkir, sedang punggungmu lekat di dadaku hingga dapat kubaui rambutmu...Hanya sebuah ciuman! dan gejolak rahasia mengalir dalam detak nadi kita. Gejolak yang sama sama kita tahu dan mengerti, tapi tak hendak kita katakan. Sesuatu yang seharusnya, tapi tak musti kita cernakan dengan lidah.

Linh, aku tak akan melebarkan atau memperkecil lingkar hubungan ini. Kita nikmati saja yang ada, seperti yang biasa kau katakan. Tapi tidakkah kau merasa kita telah melangkah sedemikian jauh, menautkan hati sedemikian dekat? Kita tumbuh dengan sadar dan alamiah saja, mendedah batas batas kemungkinan seraya mengingkari titik kewajaran. Apakah menurutmu kita ini masih wajar?

Ketika kubaca suratmu yang terakhir, saat itu pula aku menangkap sekilas kesan, kita menahan keresahan yang sama, sebuah mitos yang kita pelihara sepanjang waktu untuk tidak kita pikirkan, apalagi putuskan. Padahal aku telah menyadarinya pula di jauh hari. Akan tetapi betapa seganku padamu yang bisa begitu ringan melangkah, tersenyum dan tertawa, mencegahku untuk membuka, bicara. Andai semua ini kita dapati dalam cakapan cakapan yang lampau, mungkin segala sesuatunya akan tampak sederhana.

Tapi apakah yang kaupikirkan, Linh? Apakah terlintas di benakmu untuk menggulung waktu dan mengajakku mengulang semua dari permulaan? Atau sebaliknya aku yang akan mengundangmu kesana? Adakah kita menjatuhkan diri pada kesederhanaan setelah semua yang terjadi? Atau berteriak bullshit pada segala tindakan kita yang sengit. Apakah kita akan meletakkan begitu saja benda yang sekian waktu kita genggam dengan berat dan menyerah begitu saja pada tindasan waktu yang memang tak selamanya...Kita akan berhenti di sebuah masa. Tapi kita akan berhenti sebagaimana harusnya.

Sebentar! ...Apakah menurutmu aku terlalu berlebihan? baiklah dengar, begini saja aku bertanya kepadamu, adakah kau masih Linh ku, perempuan yang kupeluk di keheningan pagi, pula wanita ksatria yang memanggul busur dan anak panah, menyeruak debu dengan mata setajam garuda?

Katakanlah ‘iya’, begitu saja dan aku akan bahagia.......tapi bila saja kau diam, saat itulah aku akan baru yakin betapa kau sudah lagi tak ada.


Malang 1 Maret 2006

PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Previous Posts
YANG DISEMBUNYIKAN PEREMPUAN | TENGADAH | CINTA MAKI | SAJAK CINTA DEMONSTRAN | SEGALAYA CINTA | TANPA JUDUL (III) | CINTA | KEKASIH SENJA | NURI | AIR CINTA |